Rabu, 16 Juni 2010

Kita (Mungkin) Tidak Lebih Baik

Bismillahirrahmanirrahim

Tulisan ini
Berasal dari keresahan saya

Ya saya resah juga gelisah
dan seringnya resahnya saya 
hanya bisa tertuang dalam tulisan...

Di dunia ini kita memang tahu
Ada kesenjangan, 
kita mengenalnya sebagai kesenjangan sosial

dalam keseharian-pun kita menyadari..
Ada gap antara yang berada dan tidak berada
antara orang yang memiliki sumber daya dan yang tidak

Yang menjadi inti keresahan saya,
gap ini seringnya menjadi sumber
Kita memandang orang, 
Menjadi patokan seseorang menjadi teman kita
Dan yang lain bukan

we aren't them
and they aren't us 

Mungkin terbersit begini...

Saya anak pengusaha
Dan dia cuma anak tukang bakso
Ayah saya dosen 
Sedang ayahnya dia cuma tukang
Ibu saya pegawai swasta
dan Ibunya dia cuma tukang pisang coklat
Ayah saya sebulan punya gaji puluhan juta 
tanpa perlu banyak mengeluarkan keringat
Sedang pendapatan ayahnya dia tergantung 
berapa mangkok bakso yang bisa dijual 

tidak bisa ditampik..
pemikiran ini mungkin pernah (atau sering?) 
muncul dari dalam diri saya, 
saya beristighfar untuk hal ini
dan berdoa semoga anak-anak saya 
tidak akan pernah punya fikiran macam ini

Astaghfirullah, astaghfirullahal adzim

Selain faktor kekayaan 
dan keberadaan materi
Gap yang kita buat-buat sendiri ini
Juga bisa atas dasar yang lain:
Kemahiran bahasa, lulusan sekolah atau universitas yang berbeda, 
nilai GMAT, nilai TOEFL, IPK, daerah tempat tinggal,
jumlah penelitian, jumlah penghargaan
asal keluarga, suami, mobil, semuanya... 


Ketika kita memandang kita punya skor lebih
hal ini menjadikan kita merasa diatas angin, 
men-cap seseorang tidak pantas bergabung bersama kita
itu cocok, ini tidak, dia sehati, dan dia tidak
terkadang ini tidak terlihat kasat mata dari pandangan kita
tetapi terbersit dalam hati...astaghfirullah


Padahal mungkin saja 
kita tidak lebih baik dari mereka 
kita tidak lebih mulia dari mereka
terutama di mata Allah
mungkin di mata manusia kita unggul
tapi belum tentu dimata Allah

.....

Kita yang anak pengusaha dan pegawai tinggi
sangat bisa mendapat uang semau kita
seratus dua ratus ribu 
adalah jumlah biasa yang ada di dompet kita
lima puluh seratus ribu 
adalah jumlah yang ringan buat dihabiskan
untuk nonton di teater atau sekedar minum di restoran

Kita yang lulusan universitas negeri atau overseas
sangat bisa mendapat pekerjaan atau beasiswa jauh lebih mudah daripada 
lulusan swasta yang tidak branded. mudah sekali. 

sedangkan mereka?
benarkah mereka tidak lebih baik dari kita?

cobalah Lihat dalam-dalam, 
betapa mereka mensyukuri sangat-sangat
setiap mangkok bakso yang bisa dijual oleh sang Ayah pada hari itu

betapa kalimat tahmid "alhamdulillah" selalu terucap
untuk setiap pisang yang dijual oleh ibunya

betapa sujud syukur mereka tangkupkan
saat beasiswa S2 mereka dapatkan karena meraka hanya lulusan sekolah biasa
betapa puasa dan sedekah banyak mereka niatkan dan lakukan 
untuk mendapatkan satu pekerjaan saja


Sedangkan kita?
Benarkah kita lebih baik dari mereka?


bahkan mungkin ucapan rasa syukur 
sama sekali tdk terlontar dr mulut kita
ketika kita menerima kemudahan-kemudahan
yang kita anggap wajar dan kecil nilainya

seratus dua ratus ribu
sejuta dua juta
yang kita terima
berlalu begitu saja,
tidak ada ucapan hamdalah, 
apalagi sujud syukur

sedangkan mereka 
ada hamdalah dalam setiap rupiah yang mereka dapatkan
ada takbir dalam setiap langkah-langkah mereka berusaha

Jika melihat dari sini
benarkah kita lebih baik?

jika dilihat dari sini 
apakah boleh kita membanggakan diri?

jika dilihat dari sini
maka akan banyak mana catatan di Arsy sana 
akan jumlah syukur kita dengan mereka?

benar bukan, kita (mungkin) tidak lebih baik...

wallahu'alam bishshowwab al haqu mirrabbik



Allah SWT berfirman: Hai orang-orang yang beriman janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok). Dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olok) wanita-wanita lain (karena) boleh jadi wanita-wanita yang diperolok-olokkan lebih baik dari wanita yang mengolok-olok. Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zhalim. (QS Hujurat:11).

Jumat, 11 Juni 2010

Ikut bunda ke kampus




Kemarin, Eisha dan Safa ikut Bunda ke kampus

tadinya Bunda ga izinin
tapi karena safa nangis mau ikut
ya sudahlah mana Bunda tega

sementara Bunda ngajar,
Eisha safa bermain-main lihat danau UI
yang hijau...nan sejuk

Apakah Eisha safa mau kuliah disini? ^^

Rabu, 09 Juni 2010

Catatan Kebaikanmu Untukku...

Bismillahirrahmanirrahim

Note ini didedikasikan untukmu, suamiku:
ya, catatan kecil mengenai separuh jiwaku (ehm^^), 
pasangan hidupku di dunia (dan insya Allah di akhirat)
Ayah tersayang dari Eisha dan Safa 

Berikut ini adalah tiga daftar yang mampu mengingatkan
kebaikanmu untukku..

berikut adalah tiga catatanku tentangmu, suamiku:

***

adalah ketika beberapa waktu yang lalu 
kamu, suamiku
diwawancara di suatu perusahaan
yang ditanyakan oleh si interviewer kepadamu adalah:
"Apakah Anda bisa bahasa pemrograman A, B, C, D?"
maka kamu saat itu menjawab: "Ya, Bisa, saya Bisa"

dan kau ceritakan ini kepadaku, isterimu, di malam harinya
Aku tanya: "Memang Ayah bisa bahasa program itu?"
dan jawabanmu adalah: 
"Bisa, Pasti Bisa, mungkin sekarang belum terlalu bisa, 
tapi semua bisa kalau mau belajar, Bunda, semua bisa dipelajari"

dan jawabanmu itu sangat berkesan buatku...
kau adalah orang yang punya keoptimisan dalam belajar..
insya Allah

****


adalah ketika kuceritakan kepadamu
bahwa disana, di luar sana, kudengar cerita, ada orang yang membenciku
karena kukirimkan tulisan note-ku kepadanya 
maksudku agar dia setidaknya kembali mengingat jalan-Nya
aku menjadi resah pastinya, karena kutak biasa dibenci orang,
aku lebih suka kedamaian.

dan kau, suamiku, menghiburku
katamu kepadaku saat itu adalah:
"Bunda, mana yang lebih penting bagimu, 
kebencian Allah atau kebencian manusia?"

Ayah...kata penghiburmu langsung menguapkan keresahanku, tak berbekas


***

adalah ketika orientasi keduniawianku muncul,
saat itu aku mendesakmu 
untuk membelikan handset
yang menurutku tidak pasaran, tidak dimiliki banyak orang
argumenku waktu itu kepadamu adalah:
"Ayah, kalau handset A yang ini pasaran, banyak yang punya, sejuta umat"
"tapi kalau yang B ini tidak banyak yang punya, harganya lebih mahal, 
tapi tidak banyak orang yang punya Ayah, tidak pasaran"

tak kusangka, kau mengajariku dengan berkata:
"Bunda, seandainya surga banyak yang ingin memiliki,
apakah kamu juga jadi tidak mau memiliki surga?"

Subhanallah Ayah, nasihatmu langsung meniadakan keangkuhanku akan dunia dan materi...

****

Catatan kecil ini sedianya semoga menyuburkan kecintaanku kepadamu, suamiku 
atas dasar Cinta kepada Sang Khaliq, Allah Subhanallahu Wa Ta'ala, insya Allah

Selasa, 08 Juni 2010

Dalam Rangka Mencintai-Nya

Bismillahirrahmanirrahim

dalam note ini saya mencoba menulis tentang pernikahan
ehm walau saya  bukanlah M. Fauzil Adhim
penulis buku hebat tentang pernikahan dan keluarga
yang saya kagumi tulisan Beliau...

yang saya tulis disini adalah kebanyakan pengalaman keseharian
dan pengamatan
atau perpanjangan lidah dari orang lain

Dulu, dulu sekali
ibu bapak kita
terutama yang jawani
selalu mengait-ngaitkan 3 B
dalam hal menjari jodoh atau calon suami atau calon isteri

secara harfiyah,
kita mungkin sdh menganggap hal-hal ini menjadi suatu yang sudah kuno
ga moderndan ketinggalan zaman

Tapi jangan salah,
pernah juga saya "mencuri dengar"
ada kalangan teman-teman saya
yang punya komentar-komentar aneh
terkait dengan jodoh ini
dan komentar-komentar mereka ga jauh kok dari pertimbangan pemilihan 3 B
seperti yang diwariskan nenek moyang kita dahulu

waktu itu, alkisah ada seorang gadis
cantik pintar rupawan
tiba-tiba menyebarkan undangan pernikahannya
sengan seorang yang cukup famouslah dikampus
tapi yang saya dengar malah komentar ribet
yang bilang: "loh kok nikahnya sama si Abang B sih, kan si A cantik, masak dapatnya yang begitu,
musibahhh tuh"

astaghfirullah, beneran saya heran termangu2
masak iya komentarnya begitu, dan itu tidak diucapkan oleh hanya satu orang
saya juga beristighfar kalo ternyata mungkin saja
saat itu hati saya diam-diam mengaminkan pendapat teman-teman waktu itu...
ndilalah waktu itu saya belumlah menikah...

Sampai suatu saat, kakak kelas saya
yang saat itu sedang memberikan materi ke adik-adik kelasnya
secara tiba-tiba, bilang begini: "Ternyata ya, rupa pasangan  itu tidak jaminan lo kita bahagia di rumah tangga" dengan mukanya yang sumringah.
karena beliau memang baru menikah setahun berselang.
dan saat itu, saya belum menikah, jadi agak nda nyangkut apa ya maskud ucapannya..

Daaaann,
sekarang ini saya baru mengerti,
setelah hampir 8 tahun menikah (Alhamdulillah)
saya baru faham ari dan makna ucapan mba kakak kelas saya tersebut...

BETUL BANGET: itu intinya

karena, benar
wajah nan rupawan tidak banyak mengambil peran dalam kebahagiaan rumah tangga
karena wajah tidak bisa dibawa  untuk berdiskusi antara isteri dan suami

satu lagi, tingkat pendidikan,
itu juga tidak berkorelasi, mau lulusan Ekonomi, Kedokteran, fasilkom kek yang ngetop2
ga jadi jaminan kita jadi tentram lahir batin

PERCAYA DEH

karena sesungguhnya sumber kebahagiaan itu adalah NIAT
NIAT dalam pernikahan
yaitu Ridhotillah, keberkahan..
bukan yang lain-lain deh..
bukan untuk demi kebanggan pas kita bawa ke kondangan,
bukan untuk dipamerkan di blog atau fesbuk hehe
juga bukan untuk rasa senang hati ketika memperkenalkan ke teman-teman, tetangga
dan handai taulan di kampung :D

kalau itu niatnya, segera deh diluruskan
karena itu bisa jadi doa
tapi punya trade off di sisi yang lain karena kita mengabaikan Dia
karena seharusnya apa-apa yang kita lakukan
apalagi memilih pasangan
mesti karena-Nya
mesti karena kecintaan kita kepada-Nya..

maka rumah tangga kalau sdh begini
insya Allah akan selalu dijaga oleh-Nya
dan bila ada satu yang menyimpang, yang lain bisa meluruskan
jika yang satu sdh mulai belok, yang lain bisa menuntun

Betapa menyenangkan bukan?
lebih menyenangkan dirasakan ketimbang perasaan bangga kita
bersuami atau beristri orang "hebat"

Maka,