Rabu, 20 Juli 2011

"Karena Ukuran Kita Tak Sama" oleh Salim A Fillah

Bismillahirrahmanirrahim

Tulisan karya Salim A Fillah ini 
bagus sekali...
dan saya share disini agar bisa tersebar luas pelajaran dan hikmah yang terkandung didalamnya


Tulisan berikut disadur dari buku "Dalam Dekapan Ukhuwah" karya Salim A Fillah
yang saya dapat dari postingan seorang teman di yahoogroups kampus.

Semoga bermanfaat...

*******

Karena Ukuran Kita Tak Sama
oleh Salim A Fillah

seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya
memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti
memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan
kaki-kaki yang nyaman dalam seepatunya akan berbaris rapi-rapi

Seorang lelaki tinggi besar berlari-lari di tengah padang. 
Siang itu, mentari seolah didekatkan hingga tinggal sejengkal. 
Pasir membara, reranting menyala dan tiupan angin yang  keras dan panas. 
Dan lelaki itu masih berlari-lari, menutupi wajah dari pasir yang beterbangan dengan surbannya, mengejar dan menggiring anak unta.

Di padang gembalaan dekatnya berdiri sebuah dangau pribadi berjendela. 
Sang pemilik,'Utsman ibn 'Affan, sedang beristirahat sambil dengan menyanding air sejuk dan buah-buahan. Ketika melihat lelaki itu dan mengenalnya 
"Masya ALLAH" serunya, "Bukankah itu Amirul Mukminin?!". 
Ya, lelaki tinggi besar itu adalah 'Umar ibn Khattab.

"Ya Amirul Mukminin!" Utsman berteriak sekuat tenaga dari pintu dangaunya,
"Apa yang kau lakukan tengah angin ganas ini? Masuklah kemari". 
Dinding dangau di samping Utsman bergerak keras diterpa angin.

"Seekor unta zakat terpisah dan lepas dari kawannnya. Aku takut ALLAH akan menanyakannya padaku. Aku harus menangkapnya kembali. 
Masuklah engkau hai 'Utsman!" 'Umar berteriak dari kejauhan. Suaranya menggema.

"Masuklah kemari!" seru 'Utsman,"Aku akan menyuruh seorang pembantuku menangkapnya untukmu!". "Tidak! Masuklah, hai 'Utsman! Masuklah!"
"Demi ALLAH, hai Amirul Mukminin, kemarilah, Insya ALLAH unta itu akan kita dapatkan kembali." "Tidak ini tanggung jawabku. Masuklah, hai 'Utsman, badai pasirnya mengganas!"
Angin makin kencang membawa butiran pasir membara. 'Utsman pun masuk dan menutup pintu. Dia bersandar dibaliknya dan bergumam,"Demi ALLAH, benarlah Dia dan juga Rasul-Nya. engkau memang bagaikan Musa. Seorang yang kuat lagi terpercaya."

'Umar memang bukan 'Utsman dan juga sebaliknya. 
Mereka berbeda  dan masing-masing menjadi unik dengan karakter khas yg dimiliki. 
Seorang jagoan yang biasa bergulat di pasar Ukazh, yang tumbuh besar di tengah bani Makhzum nan keras dan bani Adi nan jantan kini telah menjadi pemimpin orang-orang mukmin. Maka sifat-sifat itu - keras, tegas, jantan, bertanggung jawab dan ringan tangan turun gelanggang - dibawa 'Umar untuk menjadi buah bibir kepemimpinannya hingga hari ini.

'Utsman, lelaki pemalu, datang dari keluarga bani 'Umayyah yang kaya raya dan terbiasa hidup nyaman. Umar tahu itu. Maka tak dimintanya 'Utsman ikut turun ke sengatan mentari bersamanya mengejar unta zakat yang melarikana diri. Itu bukan kebiasaan 'Utsman. Kedermawanlah yang menjadi jiwanya. Andai jadi dia menyuruh seorang sahayanya mengejar unta zakat itu; sang budak pasti dibebaskannya karena ALLAH dan dibekalinya bertimbun dinar jika berhasil membawa sang unta pulang.

Mereka berbeda ...

Bagaimanapun juga, Anas ibn Malik bersaksi bahwa 'Utsman berusaha keras meneladani sebagian perilaku mulia 'Umar sejauh jangkauan dirinya. Hidup sederhana ketika menjabat misalnya. "Suatu hari aku melihat 'Utsman berkhutbah di mimbar Nabi ShalALLAHU 'Alaihi wa Sallam," kata Anas,"kuhitung tambalan di surban dan jubahnya dan kutemukan tak kurang dari tiga puluh dua jahitan.

--------

Dalam Dekapan ukhuwah, kita punya ukuran-ukuran yang tak serupa. 
Kita memiliki latar belakang yang berlainan. Maka tindak utama yang harus kita punya adalah; jangan mengukur orang dengan baju kita sendiri, atau baju milik tokoh lain lagi. 

Dalam dekapan ukhuwah setiap manusia tetaplah dirinya. 
Tak ada yang berhak memaksa sesamanya untuk menjadi sesiapa yang ada dalam angannya.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat tulus pada saudara yang sedang diberi amanah memimpin umat. Tetapi jangan membebani dengan cara membandingkan dia terus-menerus kepada 'Umar ibn 'Abdul 'Aziz.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat pada saudara yang tengah diamanahi kekayaan. Tetapi jangan membebaninya dengan cara menyebu-nyebut selalu kisah berinfaqnya 'Abdurrahman bin 'Auf.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat saudara yang dianugerahi ilmu. 
Tapi jangan membuatnya merasa berat dengan menuntutnya agar menjadi Zaid ibn Tsabit yang menguasai bahawa Ibrani dalam empat belas hari.

Sungguh tidak bijak menuntut seseorang untuk menjadi orang lain di zaman yang sama, apalagi menggugatnya agar tepat seperti tokoh lain pada masa yang berbeda. 
'Ali ibn Abi Thalib yang pernah diperlakukan begitu, punya jawaban yang telak dan lucu.
"Dulu di zaman khalifah Abu Bakar dan 'Umar" kata lelaki kepada 'Ali, 
"Keadaannya begitu tentram, damai dan penuh berkah. 
Mengapa di masa kekhalifahanmu, hai Amirul Mukminin, keadaanya begini kacau dan rusak?".

"Sebab," kata 'Ali sambil tersenyum,
"Pada zaman Abu Bakar dan 'Umar, rakyatnya seperti aku. 
Adapun di zamanku ini, rakyatnya seperti kamu!"

Dalam dekapan ukhuwah, segala kecemerlangan generasi Salaf memang ada untuk kita teladani. Tetapi caranya bukan menuntut orang lain berperilaku seperti halnya Abu Bakar, 'Umar, "Utsman atau 'Ali. 

Sebagaimana Nabi tidak meminta Sa'd ibn Abi Waqqash melakukan peran Abu Bakar, fahamilah dalam-dalam tiap pribadi.
Selebihnya jadikanlah diri kita sebagai orang paling berhak meneladani mereka. 
Tuntutlah diri untuk berperilaku sebagaimana para salafush shalih 
dan sesudah itu tak perlu sakit hati jika kawan-kawan lain tak mengikuti. 

Sebab teladan yang masih menuntut sesama untuk juga menjadi teladan, 
akan kehilangan makna keteladanan itu sendiri. 
Maka jadilah kita teladan yang sunyi dalam dekapan ukhuwah. 

Ialah teladan yang memahami bahwa masing-masing hati memiliki kecenderungannya, masing-masing badan memiliki pakaiannya dan masing-masing kaki mempunyai sepatunya. Teladan yang tak bersyarat dan sunyi akan membawa damai. Dalam damai pula keteladannya akan menjadi ikutan sepanjang masa.

-----

Selanjutnya, kita harus belajar untuk menerima 
bahwa sudut pandang orang lain adalah juga sudut pandang yang absah. 
Sebagai sesama mukmin, perbedaan dalam hal-hal bukan asasi 
tak lagi terpisah sebagai "haq" dan "bathil". 
Istilah yang tepat adalah "shawab" dan "khatha".

Tempaan pengalaman yang tak serupa 
akan membuatnaya lebih berlainan lagi antara satu dengan yang lain.

Seyakin-yakinnya kita dengan apa yang kita pahami, 
itu tidak seharusnya membuat kita terbutakan dari kebenaran yang lebih bercahaya. 

Imam Asy Syafi'i pernah menyatakan hal ini dengan indah. 
"Pendapatku ini benar," ujar beliau,"Tetapi mungkin mengandung kesalahan. 
Adapun pendapat orang lain itu salah, namun bisa jadi mengandung kebenaran."

Wallahu'alam bishshowwab. Al haqu mirrabbik.

"Karena Ukuran Kita Tak Sama" oleh Salim A Fillah

Bismillahirrahmanirrahim

Tulisan karya Salim A Fillah ini 
bagus sekali...
dan saya share disini agar bisa tersebar luas pelajaran dan hikmah yang terkandung didalamnya


Tulisan berikut disadur dari buku "Dalam Dekapan Ukhuwah" karya Salim A Fillah
yang saya dapat dari postingan seorang teman di yahoogroups kampus.

Semoga bermanfaat...

*******

Karena Ukuran Kita Tak Sama
oleh Salim A Fillah

seperti sepatu yang kita pakai, tiap kaki memiliki ukurannya
memaksakan tapal kecil untuk telapak besar akan menyakiti
memaksakan sepatu besar untuk tapal kecil merepotkan
kaki-kaki yang nyaman dalam seepatunya akan berbaris rapi-rapi

Seorang lelaki tinggi besar berlari-lari di tengah padang. 
Siang itu, mentari seolah didekatkan hingga tinggal sejengkal. 
Pasir membara, reranting menyala dan tiupan angin yang  keras dan panas. 
Dan lelaki itu masih berlari-lari, menutupi wajah dari pasir yang beterbangan dengan surbannya, mengejar dan menggiring anak unta.

Di padang gembalaan dekatnya berdiri sebuah dangau pribadi berjendela. 
Sang pemilik,'Utsman ibn 'Affan, sedang beristirahat sambil dengan menyanding air sejuk dan buah-buahan. Ketika melihat lelaki itu dan mengenalnya 
"Masya ALLAH" serunya, "Bukankah itu Amirul Mukminin?!". 
Ya, lelaki tinggi besar itu adalah 'Umar ibn Khattab.

"Ya Amirul Mukminin!" Utsman berteriak sekuat tenaga dari pintu dangaunya,
"Apa yang kau lakukan tengah angin ganas ini? Masuklah kemari". 
Dinding dangau di samping Utsman bergerak keras diterpa angin.

"Seekor unta zakat terpisah dan lepas dari kawannnya. Aku takut ALLAH akan menanyakannya padaku. Aku harus menangkapnya kembali. 
Masuklah engkau hai 'Utsman!" 'Umar berteriak dari kejauhan. Suaranya menggema.

"Masuklah kemari!" seru 'Utsman,"Aku akan menyuruh seorang pembantuku menangkapnya untukmu!". "Tidak! Masuklah, hai 'Utsman! Masuklah!"
"Demi ALLAH, hai Amirul Mukminin, kemarilah, Insya ALLAH unta itu akan kita dapatkan kembali." "Tidak ini tanggung jawabku. Masuklah, hai 'Utsman, badai pasirnya mengganas!"
Angin makin kencang membawa butiran pasir membara. 'Utsman pun masuk dan menutup pintu. Dia bersandar dibaliknya dan bergumam,"Demi ALLAH, benarlah Dia dan juga Rasul-Nya. engkau memang bagaikan Musa. Seorang yang kuat lagi terpercaya."

'Umar memang bukan 'Utsman dan juga sebaliknya. 
Mereka berbeda  dan masing-masing menjadi unik dengan karakter khas yg dimiliki. 
Seorang jagoan yang biasa bergulat di pasar Ukazh, yang tumbuh besar di tengah bani Makhzum nan keras dan bani Adi nan jantan kini telah menjadi pemimpin orang-orang mukmin. Maka sifat-sifat itu - keras, tegas, jantan, bertanggung jawab dan ringan tangan turun gelanggang - dibawa 'Umar untuk menjadi buah bibir kepemimpinannya hingga hari ini.

'Utsman, lelaki pemalu, datang dari keluarga bani 'Umayyah yang kaya raya dan terbiasa hidup nyaman. Umar tahu itu. Maka tak dimintanya 'Utsman ikut turun ke sengatan mentari bersamanya mengejar unta zakat yang melarikana diri. Itu bukan kebiasaan 'Utsman. Kedermawanlah yang menjadi jiwanya. Andai jadi dia menyuruh seorang sahayanya mengejar unta zakat itu; sang budak pasti dibebaskannya karena ALLAH dan dibekalinya bertimbun dinar jika berhasil membawa sang unta pulang.

Mereka berbeda ...

Bagaimanapun juga, Anas ibn Malik bersaksi bahwa 'Utsman berusaha keras meneladani sebagian perilaku mulia 'Umar sejauh jangkauan dirinya. Hidup sederhana ketika menjabat misalnya. "Suatu hari aku melihat 'Utsman berkhutbah di mimbar Nabi ShalALLAHU 'Alaihi wa Sallam," kata Anas,"kuhitung tambalan di surban dan jubahnya dan kutemukan tak kurang dari tiga puluh dua jahitan.

--------

Dalam Dekapan ukhuwah, kita punya ukuran-ukuran yang tak serupa. 
Kita memiliki latar belakang yang berlainan. Maka tindak utama yang harus kita punya adalah; jangan mengukur orang dengan baju kita sendiri, atau baju milik tokoh lain lagi. 

Dalam dekapan ukhuwah setiap manusia tetaplah dirinya. 
Tak ada yang berhak memaksa sesamanya untuk menjadi sesiapa yang ada dalam angannya.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat tulus pada saudara yang sedang diberi amanah memimpin umat. Tetapi jangan membebani dengan cara membandingkan dia terus-menerus kepada 'Umar ibn 'Abdul 'Aziz.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat pada saudara yang tengah diamanahi kekayaan. Tetapi jangan membebaninya dengan cara menyebu-nyebut selalu kisah berinfaqnya 'Abdurrahman bin 'Auf.

Dalam dekapan ukhuwah, berilah nasehat saudara yang dianugerahi ilmu. 
Tapi jangan membuatnya merasa berat dengan menuntutnya agar menjadi Zaid ibn Tsabit yang menguasai bahawa Ibrani dalam empat belas hari.

Sungguh tidak bijak menuntut seseorang untuk menjadi orang lain di zaman yang sama, apalagi menggugatnya agar tepat seperti tokoh lain pada masa yang berbeda. 
'Ali ibn Abi Thalib yang pernah diperlakukan begitu, punya jawaban yang telak dan lucu.
"Dulu di zaman khalifah Abu Bakar dan 'Umar" kata lelaki kepada 'Ali, 
"Keadaannya begitu tentram, damai dan penuh berkah. 
Mengapa di masa kekhalifahanmu, hai Amirul Mukminin, keadaanya begini kacau dan rusak?".

"Sebab," kata 'Ali sambil tersenyum,
"Pada zaman Abu Bakar dan 'Umar, rakyatnya seperti aku. 
Adapun di zamanku ini, rakyatnya seperti kamu!"

Dalam dekapan ukhuwah, segala kecemerlangan generasi Salaf memang ada untuk kita teladani. Tetapi caranya bukan menuntut orang lain berperilaku seperti halnya Abu Bakar, 'Umar, "Utsman atau 'Ali. 

Sebagaimana Nabi tidak meminta Sa'd ibn Abi Waqqash melakukan peran Abu Bakar, fahamilah dalam-dalam tiap pribadi.
Selebihnya jadikanlah diri kita sebagai orang paling berhak meneladani mereka. 
Tuntutlah diri untuk berperilaku sebagaimana para salafush shalih 
dan sesudah itu tak perlu sakit hati jika kawan-kawan lain tak mengikuti. 

Sebab teladan yang masih menuntut sesama untuk juga menjadi teladan, 
akan kehilangan makna keteladanan itu sendiri. 
Maka jadilah kita teladan yang sunyi dalam dekapan ukhuwah. 

Ialah teladan yang memahami bahwa masing-masing hati memiliki kecenderungannya, masing-masing badan memiliki pakaiannya dan masing-masing kaki mempunyai sepatunya. Teladan yang tak bersyarat dan sunyi akan membawa damai. Dalam damai pula keteladannya akan menjadi ikutan sepanjang masa.

-----

Selanjutnya, kita harus belajar untuk menerima 
bahwa sudut pandang orang lain adalah juga sudut pandang yang absah. 
Sebagai sesama mukmin, perbedaan dalam hal-hal bukan asasi 
tak lagi terpisah sebagai "haq" dan "bathil". 
Istilah yang tepat adalah "shawab" dan "khatha".

Tempaan pengalaman yang tak serupa 
akan membuatnaya lebih berlainan lagi antara satu dengan yang lain.

Seyakin-yakinnya kita dengan apa yang kita pahami, 
itu tidak seharusnya membuat kita terbutakan dari kebenaran yang lebih bercahaya. 

Imam Asy Syafi'i pernah menyatakan hal ini dengan indah. 
"Pendapatku ini benar," ujar beliau,"Tetapi mungkin mengandung kesalahan. 
Adapun pendapat orang lain itu salah, namun bisa jadi mengandung kebenaran."

Wallahu'alam bishshowwab. Al haqu mirrabbik.

Minggu, 03 Juli 2011

Analogi Marah 2: Singa dan Tangan Halus


Bismillahirrahmanirrahim

Hari ini Bunda mau cerita random lagi tentang adik Safa yg sdh bisa nunjukin ketidaksukaannya dan protes kalau Bunda marah.

Bunda ga tau deh ada ga ya Ibu di dunia ini yang bisa sabar banget sampai ga pernah marah sama anaknya :) kalau ada, kepingin belajar, karena susah banget ya untuk ga marah ke anak, apalagi kalau lagi kumat "iseng"nya si anak:D

Ada dua episode cerita Bunda tentang protes Safa:

Episode Cerita 1:

Ceritanya, Bunda, Eisha, dan Safa lagi menggambar tentang hewan-hewan pakai krayon warna-warni.
Sambil menggambar, Eisha Safa menganalogikan dirinya dengan hewan kesukaannya

Safa pun berkata menyimpulkan analoginya sbg berikut:
"Kalau Kak Eisha seperti kucing yang pintar"
"Kalau aku seperti kelinci yang lucuu"

Bunda ikutan penasaran, mau ikutan ceritanya.
"Kalau Bunda seperti apa, Safa?"

Eh Safa jawab:
"Hmmmm Kalau Bunda seperti Singaaa,
Karena Bunda suka marah-marah ke Safa"

Loooooooohhhh, kok Singa sih???? :P

Huehehehe...Safa nih begitu yaa ke Bunda hiks hiks :D

*********


Episode cerita 2:

Beberapa waktu lalu, waktu sedang santai, Safa yang hobi banget duduk di pangkuannya ayah, elus-elus tangan ayah dengan rasa sayang, sambil omong begini:
"Tangan ayah haluuuuus deeeh"

Bunda yang denger perkataan Safa,
Tanya dong ke Safa:
"Kalau tangan Bunda, halus juga ga Safa??"

Eh malah Safa jawab begini:
"Hmm kalau tangan bunda ga halus,
Soalnya Bunda suka marah ke Safa."

*Laaaahh apa hubungannya marah sama tangan ga halus, hihihi* :D :D


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Jumat, 01 Juli 2011

Syirik dan Game


Bismillahirrahmanirrahim

Setelah berbulan-bulan meninggalkan MP,
mari kembali pulang kampung ke MP
Mari blogging kembali di MP :)
sesuai kampanye MP Indonesia :D

Kali ini Bunda mau cerita random saja
Tentang celotehan Eisha dan Safa:

Beberapa waktu lalu...
Dalam perjalanan ke rumah nenek di Depok, 
Eisha menyetel aplikasi doa2
Yang ada di handphone Ayah

Waktu itu Eisha menyetel doa berlindung dari syirik
Eisha tanya ke Bunda,
"Bunda, apa itu syirik"
"Kenapa kita berlindung dari syirik"

Jawab Bunda: "Syirik itu artinya kita menyembah selain Allah"
"Perbuatan Syirik termasuk dosa besar, yang sangat tidak disuka Allah."


 


Kata Eisha: "seperti menyembah patung itu ya?"
Jawab Bunda: "iya, menyembah patung atau pohon itu salah satu perbuatan syirik"

Ceritanya Bunda mau memperdalam bahasan nih, dan mau "nyentil" Eisha yang game mania.

Jadi Bunda tambahkan penjelasannya begini: "Termasuk syirik juga kalo kita main game terus, sampai ga kenal waktu, sampai ninggalin shalat"

Kata Eisha: "oh gitu ya"

Bunda menegaskan: "iya, itu termasuk syirik, menyembah game namanya"

Eh adik Safa tiba-tiba nyeletuk:
"Hahaha lucu, masak menyembah game" "masak game disembah sih Bunda" (adik Safa ketawa ngakak)

Yaaaaaaahhh Safa, dia malah ketawa,
kan wejangan Bunda ga jadi serius deeeh :D



*Keterangan foto: adik Safa saat kena cacar air
Powered by Telkomsel BlackBerry®