Rabu, 26 Oktober 2011

Kebanggaan Tauhid


Bismillahirrahmanirrahim

Penting memang mendidik anak di awal fase pendidikannya dengan pengenalan terhadap Penciptanya, Allah swt, sering kita sebut Ma'rifatullah.
Karena insya Allah ini akan jadi pegangannya dalam hidup

Karenanya saat memasukan sekolah anak, maka yang terpenting adalah apakah sekolah anak kita bisa mendekatkan ia dengan Pencipta-Nya, Mengenal Allah dengan lebih dekat.

Sekolah TK Safa saat ini sekarang bukan sekolah TK yang mahal, pun tidak terkenal, fasilitasnya juga standar saja, cara belajarnya pun lebih banyak bermain dan menyanyikan lagu-lagu, namun Bunda gembira karena di sekolah ini Safa belajar banyak tentang Islam, dan mengenal Allah swt, Penciptanya:)

alhamdulillah......

*****cuplikan cerita Safa: Tauhid 1 *******

Ayah bertanya ke Safa: "Safa Tuhan kita ada berapa? Banyak ya? Ada lima ya?" (Pertanyaan utk mengetes)

Safa: "Tuhan kita satu, Ayah. Cuma Satu"

Ayah: "Siapa Tuhan kita,Safa?" "Siapa Tuhan yang satu-satunya kita sembah?"

Safa: "Alloh, Alloh Subhanallahu wa Ta'ala, Ayah"

***anak sholehah, senangnya mendengar jawaban kamu ini nak :)***



****cuplikan cerita Safa: Tauhid 2*****

Suatu ketika Safa bermain dengan sepupunya yang seumuran namanya Ali.
Bunda mendengar diam-diam obrolan mereka saat bermain bersama.

Ali: "Safa, jangan main disitu, ada setannya"
Safa: "gapapa Ali ga usah takut, gapapa"
Ali: "hii ada setannya lo Safa"
Safa: "gapapa, kalau ada setan, kita berdoa sama Allah, ayo Ali, kita berdoa. Setan itu takut sama Allah"

***oh Safa, tauhidmu membanggakan hati kami yang mendengarnya, subhanallah :)****

Tetaplah seperti itu, tetapkan Allah dihatimu ya nak :) Semoga Allah SWT selalu menjagamu...


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Minggu, 23 Oktober 2011

Bagaimana Cara Mencetak Anak Nakal?


Bismillahirrahmanirrahim

Pagi ini saya membaca postingan link seorang teman di FB dan menemukan artikel berikut, cukup menghentak dan memberi banyak insight untuk kita, para orang tua. Bahwa apa-apa yang kita lakukan (yang mungkin sering kita anggap wajar) memberikan efek negatif kepada anak di masa depannya.

Saya share disini, semoga bermanfaat, sumbernya dari link ini: http://m.kompasiana.com/post/edukasi/2011/10/24/bagaimana-cara-mencetak-anak-nakal/

**************

Bagaimana Cara Mencetak Anak Nakal?

Oleh: Cahyadi Takariawan | 24 October 2011 | 07:47 WIB

Departemen Kepolisian Texas pernah merilis “Postulat untuk Membesarkan Anak- anak Nakal” dalam rangka propa­ganda anti anak nakal. Terjadi kegelisahan yang amat serius pada pemerin­tah kota Houston, Texas, lantaran banyaknya kejahatan yang dila­kukan oleh anak-anak belia, hingga akhirnya dibuatlah kampanye dan propaganda besar-besaran untuk menekan jumlah kejahatan mereka.

Berikut ini beberapa postulat untuk membesarkan anak-anak nakal, mungkin ada manfaatnya bagi kita.

1. Sejak bayi, berikan kepada anak segala yang ia inginkan. Dengan demikian, ia akan percaya bahwa dunia berhutang budi kepadanya.

2. Pada waktu ia mengucapkan kata-kata yang tidak patut, tertawakanlah agar ia merasa bahwa ia lucu.

3. Jangan pernah memberi pendidikan ruhaniah kepada anak. Tunggulah sampai ia berumur 21 tahun baru kemudian ia akan memil­ih untuk dirinya sendiri.

4. Jangan pernah mengatakan “salah” kepadanya. Kata itu akan mengembangkan rasa bersalah yang kompleks. Hal itu menjadikan ia di kemudian hari apabila ditangkap karena mencuri mobil akan merasa bahwa penangkapan itu merupakan penganiayaan.

5. Biarkan saja dia berbohong. Lakukanlah segalanya bagi anak, agar ia berpengalaman melemparkan tanggung jawab kepada orang lain.

6. Biarkan ia membaca apa saja yang dapat ia peroleh sendiri. Biarkan pikirannya berpesta pora di keranjang sampah.

7. Sering-seringlah bertengkar di hadapan anak anda. Dengan demikian mereka tidak akan terkejut apabila di kemudian hari keluarganya berantakan.

8. Berilah uang yang mereka butuhkan. Jangan pernah membiarkan anak menabung untuk dirinya sendiri.

9. Puaskan segala keinginan makanan, minuman, dan kesenangannya. Lihatlah, apakah segala keinginan nafsunya telah terpenuhi?

10. Pada waktu ia sungguh-sungguh dalam kesulitan, maafkanlah diri Anda sendiri dengan mengatakan, “Aku tak dapat berbuat apa-apa lagi.”

Apakah kita sudah melaksanakan sepuluh postulat di atas, keseluruhan atau sebagiannya ? Jika sudah, artinya kita telah terlibat dalam mencetak dan membesarkan anak-anak nakal.
Berhentilah melakukannya !


Powered by Telkomsel BlackBerry®

Rabu, 19 Oktober 2011

Catatan Kecil Safa


Bismillairrahmanirrahiim

Kalau dulu yang suka celotah-celoteh adalah Kakak Eisha, sekarang yg paling bawel di rumah adalah Adik Safa.

Cerita-cerita tentang Safa-nya mau Bunda tulis di bog mp, sebelum lupa...:)


****
Bunda pulang dari kampus melihat tempat tidur berantakan, dan gemes jadinya langsung dirapihkan.

Safa yang milhat Bunda, ikut bantu merapihkan, menarik sepreinya dari ujung-ujung :),

Kata Bunda ke Safa: "Safa pintar ya, bantu Bunda",
Eh Safa malah jawab: "emang iya , ayo Bunda bilang terima kasih ke Safa"

He he he iyya deh, makasih ya, Safaa :P

****
Safa lagi menggambar dilantai, dan Bunda lewat disampingnya Safa
Tidak sengaja sedikit menginjak jari kelingking Safa
Belum sempat Bunda minta maaf, Safa sudah langsung bilang: "aduh,Bunda,jari Safa nih kena, ayo Bunda minta maaf ke Safa"

Oh iyaa maaf deh Safaa, Bunda ga sengaja :P

****

Suatu malam, Kakak Eisha sudah tidur lebih dulu dari Safa. Safa masih belum ngantuk tampaknya, jadi masih menggambar sana-sini dan bermain krayon

Capek menggambar, Safa mengambil posisi tidur. Tapi Safa mengambil selimut strawberry yang menyelimuti Kak Eisha.

Bunda tanya: "Loh Safa, Kan itu selimut buat Kak Eisha, kok diambil, kasihan dunk kak Eisha nanti kedinginanan"

Safa menjawab sekenanya: "Kata Kak Eisha, Kak Eisha ga mau selimut, katanya Kak Eisha kegerahan, mau yang dinginnn Bundaa"

Lo lo lo.....gitu ya *kapan juga kak Eisha ngomongnya yaa :D*

****

Safa bercakap-cakap dengan Ammah Peni.
Safa: "Ammah, garam itu asalnya dari mana"
Ammah Peni: "dari air laut, garamnya diambil dari air laut yg asin, dipanaskan, air lautnya menguap, nanti garamnya tertinggal deh"

Safa: "hmm kalau gitu kalau nanti garamnya diambil terus dari air laut, nanti garamnya jadi habis dong, terus ambil dimana lagi?"

Wah si Ammah bingung ambil dimana lagi ya nih garem? "̮ ƗƗɐƗƗɐƗƗɐ "̮...

***

Kak Eisha dan Safa bertengkar karena Kak Eisha meminjam buku Safa tapi tidak mau dikembalikan

Safa menangis

Bunda yg melihat, menasihati (mungkin lebih bisa dibilang: memarahi) kak Eisha, karena kak Eisha tidak mau kembalikan buku Safa.

Eisha diam mendengar Bunda. Hening.
Tapi adik Safa malah bilang begini: "Bunda, jangan marahi Kak Eisha, kasihan, Safa sayang sama Kak Eisha"

Looooohhhh gimana toooohhhh...:D

Safa, Safa....

***
Powered by Telkomsel BlackBerry®

Senin, 17 Oktober 2011

Insiprasi dari CEO’s Note – Dahlan Iskan (PLN)

Bismillahirahmanirrahiim
Pagi ini saya membaca tulisan ini di milis yang saya ikuti, karena inspiratif, saya share disini ya, semoga bermanfaat :)

*****

Insiprasi dari CEO’s Note – Dahlan Iskan (PLN)

Ini adalah CEO’s Note Dahlan Iskan yang saya terima dari teman. CEO’s Note ini terbit di kalangan internal PLN dan dipublikasikan pula oleh Jawa Pos. Semoga menginspirasi.

Dahlan Iskan: Dua Tangis dan Ribuan Tawa

Minggu lalu genap enam bulan saya menjadi CEO PLN. Ada yang bilang ”baru” enam bulan. Ada yang bilang ”sudah” enam bulan.

Betapa relatifnya waktu…

Selama enam bulan itu, saya dua kali sakit perut serius. Setengah hari saya tidak bisa bekerja, kecuali hanya tidur lemas di bilik di belakang ruang kerja Dirut PLN.

Sebenarnya, saya harus mewaspadai sakit perut seperti itu melebihi sakit lainnya. Sebab, kata dokter, sakit perut merupakan tanda awal mulai bermasalahnya transplantasi hati yang saya lakukan tiga tahun lalu. Mungkin saja itu merupakan tanda awal bahwa "hati"nya orang lain yang sekarang saya pakai ini mulai ditolak oleh sistem tubuh saya. Begitulah kata dokter.

Syukurlah, sakit perut itu cepat hilang tanpa saya harus minum obat. Saya memang tidak boleh sembarangan minum obat, khawatir berbenturan dengan obat transplan yang masih harus saya minum setiap hari.

Tiba-tiba saja, ketika hari sudah berubah siang, ketika rapat penting yang telanjur dijadwalkan tersebut harus dimulai, sakit itu sembuh sendiri…

Selama enam bulan itu, seingat saya, belum pernah saya absen. Saya memang sudah berjanji kepada diri sendiri: Selama enam bulan pertama sebagai Dirut PLN, saya tidak akan mengurus apa pun kecuali listrik

Tidak akan pergi ke mana pun kecuali urusan listrik. Tidak akan bicara apa pun kecuali soal listrik. Karena itu, kalau biasanya dulu setiap bulan saya bisa dua-tiga kali ke luar negeri, selama enam bulan di PLN ini, saya tidak ke mana-mana.

Untuk itu, saya harus minta maaf kepada famili, teman dekat, dan pengurus berbagai organisasi yang saya ketuai. Selama enam bulan tersebut, saya tidak bisa menghadiri acara keluarga, pesta perkawinan teman-teman dekat, dan bahkan selamatan boyongan rumah anak sendiri. Apalagi rapat-rapat organisasi atau permintaan ceramah. Semua saya hindari.

Saya memang masih tercatat sebagai ketua umum persatuan perusahaan surat kabar se-Indonesia, ketua umum persatuan barongsai Indonesia, persatuan olahraga bridge Indonesia, dan banyak lagi. Selama enam bulan itu, tidak ada rapat yang bisa saya hadiri.

Menjelang enam bulan di PLN, berat badan saya naik 3 kg! Oh, rupanya saya kurang gerak. Hanya dari mobil ke ruang rapat. Dan dari ruang rapat ke mobil. Siang dan malam. Itu tentu tidak baik. Dokter yang tiga tahun lalu mentransplantasi hati saya melarang badan saya terlalu gemuk. Dokter selalu mengingatkan, meski kelihatannya sehat, status saya tetap saja sebagai orang sakit. Di samping harus terus minum obat, juga harus tetap hati-hati. Karena itu, menginjak bulan keenam, saya putuskan ini: berangkat kerja berjalan kaki saja.

Maka, setiap hari pukul 05.45 saya sudah berangkat kerja. Jalan kaki dari rumah saya di dekat Pacific Place Semanggi, Jakarta, ke Kantor Pusat PLN di Jalan Trunojoyo, seberang Mabes Polri itu. Berangkat sepagi itu bukan supaya dianggap sok rajin, tapi ingin menghindari asap knalpot. Tidak ada gunanya berolahraga sambil menghirup CO2.

Beruntung, rute menuju kantor tersebut bisa ditempuh dengan menghantas jalan-jalan kecil yang sepi yang kiri-kanannya penuh pohon-pohon nan merimbun. Pukul 06.30, ketika baru ada satu-dua mikrolet mengasapi jalanan, saya (biasanya ditemani istri) tiba di kantor dengan keringat yang bercucuran.

Hasilnya: selama satu bulan itu, berat badan sudah turun 2 kg. Masih punya utang 1 kg lagi. Mula-mula, berjalan cepat selama 35 menit itu terasa berat. Jarak rumah-kantor tersebut juga terasa sangat jauh. Tapi, kian lama menjadi kian biasa. Bahkan, belakangan jarak itu terasa sedikit kurang jauh.

Betapa relatifnya jarak…

Enak juga sudah di kantor pagi-pagi. Kini, menjadi pemandangan biasa pada pukul 07.00 sudah banyak orang Jepang yang antre di ruang tamu. Demikian juga beberapa relasi PLN lainnya. Bahkan, seorang perempuan yang merasa diperlakukan kejam oleh suaminya juga tahu jadwal saya ini: Sebelum pukul 07.00, perempuan itu sudah menangis di lobi untuk mengadukan kelakuan suaminya. Lalu, minta sangu untuk pulang karena uangnya tinggal pas-pasan untuk datang ke PLN itu tanpa tahu harus bagaimana pulangnya. Suaminya, katanya, sangat-amat pelitnya.

Betapa relatifnya uang…

Selama enam bulan itu, saya dua kali menangis. Sekali di ruang rapat dan sekali di Komisi VII DPR RI. Kadang memang begitu sulit mencari jalan cepat untuk mengatasi persoalan. Kadang sebuah batu terlalu sulit untuk dipecahkan.

Tapi, tidak berarti hari-hari saya di PLN adalah hari-hari yang sedih. Ribuan kali saya bisa tertawa lepas. Ruang rapat sering menjadi tempat hiburan yang menyenangkan. Terutama ketika begitu banyak ide datang dari para peserta rapat. Apalagi, sering juga ide tersebut dikemukakan dengan jenakanya.

Di mana-mana, di berbagai forum, saya selalu membanggakan kualitas personal PLN. Orang PLN itu rata-rata cerdas-cerdas: tahu semua persoalan yang dihadapi perusahaan dan bahkan tahu juga bagaimana cara menyelesaikannya. Yang tidak ada pada mereka adalah muara.

Begitu banyak Ide yang mengalir, tapi sedikit yang bisa mencapai muara. Kalau toh ada, muara itu dangkal dan sempit. Ide-ide brilian macet dan kandas. Kini, di ruang rapat tersebut, semua ide bisa mulai bermuara. Bahkan, meminjam lagunya almarhum Gesang, bisa mengalir sampai jauh…

Memang, ruang rapat sebaiknya jangan penuh ketegangan. Orang-orang PLN itu siang-malam sudah mengurus tegangan listrik. Jangan pula harus tegang di ruang rapat. Ruang rapat harus jadi tempat apa saja: debat, baku ide, berbagi kue, dan saling ejek dengan jenaka. Saya bangga ruang rapat PLN bukan lagi sebuah tempat biasa, tapi bisa menjadi katalisator yang menyenangkan.

Sebuah tempat memang bisa jadi apa saja bergantung yang mengisinya.

Betapa relatifnya tempat…

Sedih, senang, ketawa, menangis, semua bergantung suasana kejiwaan. Pemilik jiwa sendirilah yang mampu menyetel suasana kejiwaan masing-masing. Mau dibuat sedih atau mau dibuat gembira. Mau menangis atau tertawa. Semua bisa.

Betapa relatifnya jiwa…

Rasanya, selama enam bulan di PLN, saya juga belum pernah duduk di "kursi" direktur utama. Saya sudah terbiasa bekerja tanpa meja. Puluhan tahun, sejak sebelum di PLN. Setengah liar. Sebab, sebelum di PLN, saya hampir tidak pernah membaca surat masuk.

Jadi, memang tidak diperlukan sebuah meja. Semua surat masuk langsung didistribusikan ke staf yang bertugas di bidangnya. Sebab, kalaupun surat itu ditujukan kepada saya, belum tentu saya bisa menyelesaikannya. Maka, untuk apa harus mampir ke meja saya kalau bisa langsung tertuju kepada yang lebih pas menjawabnya?

Kini, sebagai Dirut PLN, saya tidak boleh begitu. Saya harus menerima surat-surat yang setumpuk itu untuk dibuatkan disposisinya. Inilah untuk kali pertama dalam hidup saya harus membuat corat-coret di lembar disposisi. Apa yang harus saya tulis di situ? Saran? Pendapat? Instruksi? Larangan? Harapan? Atau, beberapa kata yang hanya bersifat basa-basi -sekadar untuk menunjukkan bahwa saya atasan mereka?

Akhirnya, saya putuskan tidak menuliskan apa-apa. Kecuali beberapa hal yang sangat jarang saja. "Mengapa" saya harus memberikan arahan seolah-olah hanya saya yang "tahu" persoalan itu? Mengapa saya harus memberikan instruksi seolah-olah tanpa instruksi itu mereka tidak tahu apa yang harus diperbuat? Mengapa saya harus memberikan petunjuk seolah-olah saya itu "pabrik petunjuk"?

Maka, jangan heran kalau mayoritas lembar disposisi tersebut tidak ada tulisannya. Paling hanya berisi paraf saya dan nama orang yang harus membaca surat itu. Saya sangat yakin, tanpa disposisi satu kata pun, mereka tahu apa yang terbaik yang harus dilakukan.

Bukankah karyawan PLN itu umumnya lulusan terbaik ranking 1 sampai 10 dari universitas- universitas terbaik negeri ini ? Bukankah karyawan PLN itu, doktornya saja sudah 20 orang dan masternya sudah 600 orang? Bukankah mereka sudah sangat berpengalaman -melebihi saya? Maka, saya tidak ragu memberikan kebebasan yang lebih kepada mereka.

Inilah sebuah proses lahirnya kemerdekaan ide. Orang yang terlalu sering diberi arahan akan jadi bebek. Orang yang terlalu sering diberi instruksi akan jadi besi. Orang yang terlalu sering diberi peringatan akan jadi ketakutan. Orang yang terlalu sering diberi "pidato" kelak hanya bisa "minta petunjuk".

Saya harus sadar bahwa mayoritas warga PLN adalah lulusan terbaik dari universitas- universitas terbaik. Mereka sudah memiliki semuanya: kecuali kemerdekaan ide itu. Kini saatnya barang yang mahal tersebut diberikan kepada mereka. Saya sangat memercayai, jika seseorang diberi kepercayaan, rasa tanggung jawabnya akan muncul. Kalau toh ada yang tidak seperti itu, hanyalah pengecualian.

Semua itu saya lakukan di meja rapat. Bukan di meja kerja direktur utama. Karena itu, saya juga tidak pernah memanggil staf, misalnya, untuk menghadap duduk di kursi di depan direktur utama. Kalau saya lakukan itu, perasaan saya tidak enak. Mungkin hanya perasaan saja sebenarnya.

Saya tidak tahu dari mana lahirnya perasaan tidak enak tersebut. Mungkin karena dulu terlalu sering melihat Pak Harto di televisi dengan adegan seperti itu. Saya takut merasa menjadi terlalu berkuasa di kantor ini.

Kedudukan tentu tidak sama dengan tempat duduk. Yang merasa berkuasa pun belum tentu bisa menguasainya. Yang punya kedudukan belum tentu bisa duduk semestinya.

Betapa relatifnya sebuah kekuasaan…

Lalu, apa yang sudah kita capai selama enam bulan ini?

Ada yang bilang sudah sangat banyak: menanggulangi pemadaman bergilir di seluruh Indonesia, menyelesaikan IPP terkendala yang sudah begitu lama, mengatasi kacaunya tegangan listrik di berbagai wilayah (orang Aceh, Cianjur Selatan, Tangerang, dan banyak lagi kini sudah bisa mengucapkan selamat tinggal tegangan 14! Sudah bertahun-tahun tegangan listrik di Aceh hanya 14, sehingga sering redup dan merusak barang-barang elektronik. Kini, di Aceh dan banyak wilayah itu, tegangan listriknya sudah normal, sudah bisa 20).

Tapi, banyak juga yang bilang, masih terlalu sedikit yang diperbuat. Bahkan, ada yang bilang, termasuk seorang anggota DPR di komisi VI, bahwa direksi PLN yang baru ternyata bisanya hanya menaikkan TDL. Tudingan tersebut tentu lucu karena bukankah yang bisa menaikkan TDL itu hanya pemerintah bersama DPR? Bukankah direksi PLN itu, sesuai UU, sama sekali tidak punya wewenang menaikkan atau menurunkan TDL?

Betapa relatifnya kepuasan…

(Sebulan sekali, CEO PLN menulis surat kepada seluruh karyawan PLN. Inilah cara Dahlan Iskan untuk memotivasi dan berkomunikasi langsung dengan seluruh karyawannya. Surat itu diberi nama CEO’s Note. Tujuannya, seluruh karyawan PLN yang lebih dari 40.000 orang itu bisa langsung membaca jalan pikiran dan keinginan pimpinan puncak perusahaan. Setiap kali CEO’s Note terbit, banyak tanggapan dari karyawan melalui forum e-mail perusahaan. Artikel ini adalah CEO’s Note edisi ke-6 bulan Juli 2010).

Powered by Telkomsel BlackBerry®

Kamis, 13 Oktober 2011

Belajar Matematika Online | :: matematika jadi menyenangkan ::

http://math.bentangilmu.com/
link ini di dapat dari Bu Guru Irma, buat belajar eisha safa dan teman-teman nih, terima kasih yaaa Bu Irma :) *kiss* :)