Kamis, 14 Oktober 2010

Bakso Khalifatullah

Bismillahirrahmanirrahim

(*Lagi ga mood nulis tulisan sendiri , jadi copas saja deh artikel Emha Ainun Najib yang menurut saya bagus sekali. Tulisan Emha sangat mengena di hati saya apalagi ada hubungannya sama Bakso , mungkin juga diantara teman-teman sudah ada yang membaca tulisan Emha ini*)

sumber: http://skalaindonesia.com/node/2424
sumber foto: http://www.flickr.com/photos/dwiandi/3424548805/

Bakso Khalifatullah

Oleh: Emha Ainun Nadjib

Setiap kali menerima uang dari orang yang membeli bakso darinya,
Pak Patul mendistribusikan uang itu ke tiga tempat: sebagian ke laci gerobagnya,
sebagian ke dompetnya, sisanya ke kaleng bekas tempat roti.
“Selalu begitu, Pak?”, saya bertanya,
sesudah beramai-ramai menikmati bakso beliau
bersama anak-anak yang bermain di halaman rumahku sejak siang.

“Maksud Bapak?”, ia ganti bertanya.
“Uangnya selalu disimpan di tiga tempat itu?”
Ia tertawa. “Ia Pak. Sudah 17 tahun begini.
Biar hanya sedikit duit saya, tapi kan bukan semua hak saya”
“Maksud Pak Patul?”, ganti saya yang bertanya.
“Dari pendapatan yang saya peroleh dari kerja saya
terdapat uang yang merupakan milik keluarga saya, milik orang lain dan milik Tuhan”.

Aduh gawat juga Pak Patul ini.
“Maksudnya?”, saya mengejar lagi.
“Uang yang masuk dompet itu hak anak-anak dan istri saya, karena menurut Tuhan itu kewajiban utama hidup saya.
Uang yang di laci itu untuk zakat, infaq, qurban dan yang sejenisnya.
Sedangkan yang di kaleng itu untuk nyicil biaya naik haji.
Insyaallah sekitar dua tahun lagi bisa mencukupi untuk membayar ONH.
Mudah-mudahan ongkos haji naiknya tidak terlalu, sehingga saya masih bisa menjangkaunya”.

Spontan saya menghampiri beliau.
Hampir saya peluk, tapi dalam budaya kami orang kecil jenis ekspressinya tak sampai tingkat peluk memeluk,
seterharu apapun, kecuali yang ekstrem misalnya famili yang disangka meninggal ternyata masih hidup,
atau anak yang digondhol Gendruwo balik lagi.
Bahunya saja yang saya pegang dan agak saya remas,
tapi karena emosi saya bilang belum cukup maka saya guncang-guncang tubuhnya.
Hati saya meneriakkan “Jazakumullah, masyaallah, wa yushlihu balakum!”,
tetapi bibir saya pemalu untuk mengucapkannya.
Tuhan memberi ‘ijazah’ kepadanya dan selalu memelihara kebaikan urusan-urusannya.

Saya juga menjaga diri untuk tidak mendramatisir hal itu.
Tetapi pasti bahwa di dalam diri saya
tidak terdapat sesuatu yang saya kagumi
sebagaimana kekaguman yang saya temukan pada prinsip,
managemen dan disiplin hidup Pak Patul.

Untung dia tidak menyadari keunggulannya atas saya:
bahwa saya tidak mungkin siap mental
dan memiliki keberanian budaya maupun ekonomi
untuk hidup sebagai penjual bakso, sebagaimana ia menjalankannya dengan tenang dan ikhlas.

Saya lebih berpendidikan dibanding dia,
lebih luas pengalaman, pernah mencapai sesuatu yang ia tak pernah menyentuhnya,
bahkan mungkin bisa disebut kelas sosial saya lebih tinggi darinya.
Tetapi di sisi manapun dari realitas hidup saya,
tidak terdapat sikap dan kenyataan yang membuat saya tidak berbohong
jika mengucapkan kalimat seperti diucapkannya:
“Di antara pendapatan saya ini terdapat milik keluarga saya, milik orang lain dan milik Tuhan”.

Peradaban saya masih peradaban “milik saya”.
Peradaban Pak Patul sudah lebih maju, lebih rasional, lebih dewasa,
lebih bertanggungjawab, lebih mulia dan tidak pengecut sebagaimana ‘kapitalisme subyektif posesif’ saya.

30 th silam saya pernah menuliskan kekaguman saya kepada Penjual cendhol
yang marah-marah dan menolak cendholnya diborong oleh Pak Kiai Hamam Jakfar Pabelan
karena “kalau semua Bapak beli, bagaimana nanti orang lain yang memerlukannya?”
Ilmunya penjual jagung asal Madura di Malang tahun 1976 saya pakai sampai tua.
Saya butuh 40 batang jagung bakar untuk teman-teman seusai pentas teater,
tapi uang saya kurang, hanya cukup untuk bayar 25, sehingga harga perbatang saya tawar.
Dia bertahan dengan harganya, tapi tetap memberi saya 40 jagung.
“Lho, uang saya tidak cukup, Pak”
“Bawa saja jagungnya, asal harganya tetap” “Berarti saya hutang?”
“Ndaaak. Kekurangannya itu tabungan amal jariyah saya”.
Doooh adoooh…! Tompes ako tak’iye!

Di pasar Khan Khalili semacam Tenabang-nya Cairo
saya masuk sebuah took kemudian satu jam lebih pemiliknya hilang entah ke mana,
jadi saya jaga tokonya. Ketika datang saya protes: “Keeif Inta ya Akh…ke mane aje?
Kalau saya ambilin barang-barang Inta terus saya ngacir pigimane dong….”

Lelaki tua mancung itu senyum-senyum saja sambil nyeletuk:
“Kalau mau curi barang saya ya curi saja, bukan urusan saya, itu urusan Ente sama Tuhan….
” Sungguh manusia adalah ahsanu taqwim,
sebaik-baik ciptaan Allah, master-piece.
Orang-orang besar bertebaran di seluruh muka bumi.
Makhluk-makhluk agung menghampar di jalan-jalan, pasar,
gang-gang kampung, pelosok-pelosok dusun dan di mana-manapun.

Bakso Khlifatullah, bahasa Jawanya: bakso-nya Pak Patul, terasa lebih sedap karena kandungan keagungan.

Itu baru tukang bakso, belum anggota DPR.
Itu baru penjual cendhol, belum Menteri dan Dirjen Irjen Sekjen.
Itu baru pemilik toko kelontong, belum Gubernur Bupati Walikota tokoh-tokoh Parpol.
Itu baru penjual jagung bakar, belum Kiai dan Ulama. *****

-wallahu'alam bishowwab-
Powered by Telkomsel BlackBerry®

16 komentar:

  1. bagus banget... terima kasih udah mengingatkan aku *jadi maluww*

    BalasHapus
  2. sama-sama Bund, ini juga untuk mengingatkan aku T_T

    BalasHapus
  3. Mksh mba..sebagai pengingat diri ini.. :)

    BalasHapus
  4. sama-sama mom, semoga kita bisa saling mengingatkan ya..

    BalasHapus
  5. @Mba Enno: aduh maafkeun komennya terhapus, sama-sama ya tante Enno, kita saling sharing ya :)

    BalasHapus
  6. T_T subhanallah *nangis*....

    duuuh, makasih banyak udah diingetin, Mbak. belakangan ini lagi banyak mikir ttg ZIS, dapet pencerahan banget. trimakasiiiih...

    BalasHapus
  7. lagi2 diingatkan.. alhamdulillah
    tfs ya bunda.. ^^

    BalasHapus
  8. Trus yang buat modal dagangan besok gimana hehehe but TFS
    *pertanyaan aneh*

    BalasHapus
  9. menjelang haji ya mba.. banyak kisah2x seperti ini.. niat naek haji yg bener2x niat, menabung sedikit demi sedikit.. smoga kita jg bs begitu, niat yg bener2x niat... *narik2x tangan suami, loh??*

    BalasHapus
  10. sama-sama Mba, mulai bulan ini yuk kita sisihkan uang kita untuk ZIS, insya Allah:)

    BalasHapus
  11. ikutan niat dan ikut narik-narik tangan suami, loh? hehe

    BalasHapus
  12. sama-sama Yaa Bund, saling mengingatkan ya kita..:)

    BalasHapus
  13. terus terang, aku juga pernah punya pertanyaan ini Mba Lind, hehe
    mungkin (masih mungkin), dari uang yang di dompet dibagi lagi buat modal

    atau kalau mau masuk logiga, yang dibagi ketiga tempat adalah keuntungannya, bukan omsetnya, wallahu'alam ;)

    BalasHapus