Minggu, 31 Oktober 2010
Karena Bunda Sayang Safa
Bismillahirrahmanirrahim
Hari ini adik Safa badannya panas,
Dari tadi malam sebenarnya Bunda sdh merasa badan Safa hangat pas Bunda keloni
Karena panas, Bunda jadi absen ke kampus, habis mau gimana lagi ga tega ninggalin Safa
Habis suapi Safa maem pakai nasi, sayur bayam dan tempe,
Bunda temani Safa menggambar tuxpaint
Pas Safa gambar, Bunda tanya ke Safa:
"Safa, Bunda ke kampus dulu ya?"
Jawab Safa: "ga boleh"
Bunda tanya: "kenapa ga boleh?"
Jawab Safa: "karena Bunda sayang Safa kan?"
Ohhhh Safaaaa....:)
Bunda memang harus sayang Safa ya :)
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Kamis, 28 Oktober 2010
Rabu, 20 Oktober 2010
Distorsi Keong
Bismillahirrahmanirrahim
Kejadian ini baru saja deh terjadinya
Safa sedang menggambar di komputer pakai TuxPaint
Bunda sih sesekali melihat iseng apa sih yg digambar Safa di komputer
Mulai dari balok-balok, bunga, orang,
Sampai satu gambar abstrak mirip spiral melingkar berwarna coklat
Lihat gambar spiral itu,
Bunda iseng deh tanya ke Safa:
"Safa itu gambar keong ya?"
Kata Safa: "iyah ini gambar keong"
"Oh, keong apa itu ya namanya nak?"
Ga disangka-sangka,
Masak nih anak jawab:
"Ini namanya keong racun Bunda"
Wadaaaawwwww :D
Antara geli campur heran Bunda,
Ya ampyuun nih anak denger kata itu darimana ya? Ck ck ck, distorsi media nih kayaknya :P
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Kejadian ini baru saja deh terjadinya
Safa sedang menggambar di komputer pakai TuxPaint
Bunda sih sesekali melihat iseng apa sih yg digambar Safa di komputer
Mulai dari balok-balok, bunga, orang,
Sampai satu gambar abstrak mirip spiral melingkar berwarna coklat
Lihat gambar spiral itu,
Bunda iseng deh tanya ke Safa:
"Safa itu gambar keong ya?"
Kata Safa: "iyah ini gambar keong"
"Oh, keong apa itu ya namanya nak?"
Ga disangka-sangka,
Masak nih anak jawab:
"Ini namanya keong racun Bunda"
Wadaaaawwwww :D
Antara geli campur heran Bunda,
Ya ampyuun nih anak denger kata itu darimana ya? Ck ck ck, distorsi media nih kayaknya :P
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Selasa, 19 Oktober 2010
Bukan pakai tangga
Bismillahirrahmanirrahim
Catatan ceriwis Bunda nih ttg adik Safa:
Ceritanya kemarin malam Bunda bacakan Safa: buku Dongeng Kisah-kisah di Hutan: Peri, karangan Pak Tony Wolf
Dan sampai pada bagian "Seiris Bulan",
Dimana dihalaman 26 adalah satu halaman bergambar kurcaci sedang memanjat bulan dengan tangga
Bunda bacakan begini:
"Tiga hari lagi bulan sabit" kata si peri hutan
"Jadi kita akan menyandarkan tangga pada bulan yg seiris itu. Tangga yg sangat panjang"
Eh masak si safa tiba-tiba protes: "ihh ke bulan bukan pake tanggaaa"
"Bukan pake tangga Bundaa"
"Tapi pake pesawat rokeeet"
Eh eh iya sih..
Hihihi dasar bocah dibacain dongeng kagak ngarti :D
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Catatan ceriwis Bunda nih ttg adik Safa:
Ceritanya kemarin malam Bunda bacakan Safa: buku Dongeng Kisah-kisah di Hutan: Peri, karangan Pak Tony Wolf
Dan sampai pada bagian "Seiris Bulan",
Dimana dihalaman 26 adalah satu halaman bergambar kurcaci sedang memanjat bulan dengan tangga
Bunda bacakan begini:
"Tiga hari lagi bulan sabit" kata si peri hutan
"Jadi kita akan menyandarkan tangga pada bulan yg seiris itu. Tangga yg sangat panjang"
Eh masak si safa tiba-tiba protes: "ihh ke bulan bukan pake tanggaaa"
"Bukan pake tangga Bundaa"
"Tapi pake pesawat rokeeet"
Eh eh iya sih..
Hihihi dasar bocah dibacain dongeng kagak ngarti :D
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Sabtu, 16 Oktober 2010
percayalah bahwa keluhan-keluhan yang kau ucapkan justru memperberat beban diri dan bahumu, kesah resah yang terujar malah memendarkan aura negatif kesekelilingmu, dan umpatan-umpatan yang dilontarkan pun tdk akan menjadi pembuka jalanmu, tapi mungkin malah justru mempersempit jalan keluar itu, jd bersabarlah..sungguh sabar itu adl jalan penolong selain shalat (catatan utk diri sendiri)
Kamis, 14 Oktober 2010
Bakso Khalifatullah
Bismillahirrahmanirrahim
(*Lagi ga mood nulis tulisan sendiri , jadi copas saja deh artikel Emha Ainun Najib yang menurut saya bagus sekali. Tulisan Emha sangat mengena di hati saya apalagi ada hubungannya sama Bakso , mungkin juga diantara teman-teman sudah ada yang membaca tulisan Emha ini*)
sumber: http://skalaindonesia.com/node/2424
sumber foto: http://www.flickr.com/photos/dwiandi/3424548805/
Bakso Khalifatullah
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Setiap kali menerima uang dari orang yang membeli bakso darinya,
Pak Patul mendistribusikan uang itu ke tiga tempat: sebagian ke laci gerobagnya,
sebagian ke dompetnya, sisanya ke kaleng bekas tempat roti.
“Selalu begitu, Pak?”, saya bertanya,
sesudah beramai-ramai menikmati bakso beliau
bersama anak-anak yang bermain di halaman rumahku sejak siang.
“Maksud Bapak?”, ia ganti bertanya.
“Uangnya selalu disimpan di tiga tempat itu?”
Ia tertawa. “Ia Pak. Sudah 17 tahun begini.
Biar hanya sedikit duit saya, tapi kan bukan semua hak saya”
“Maksud Pak Patul?”, ganti saya yang bertanya.
“Dari pendapatan yang saya peroleh dari kerja saya
terdapat uang yang merupakan milik keluarga saya, milik orang lain dan milik Tuhan”.
Aduh gawat juga Pak Patul ini.
“Maksudnya?”, saya mengejar lagi.
“Uang yang masuk dompet itu hak anak-anak dan istri saya, karena menurut Tuhan itu kewajiban utama hidup saya.
Uang yang di laci itu untuk zakat, infaq, qurban dan yang sejenisnya.
Sedangkan yang di kaleng itu untuk nyicil biaya naik haji.
Insyaallah sekitar dua tahun lagi bisa mencukupi untuk membayar ONH.
Mudah-mudahan ongkos haji naiknya tidak terlalu, sehingga saya masih bisa menjangkaunya”.
Spontan saya menghampiri beliau.
Hampir saya peluk, tapi dalam budaya kami orang kecil jenis ekspressinya tak sampai tingkat peluk memeluk,
seterharu apapun, kecuali yang ekstrem misalnya famili yang disangka meninggal ternyata masih hidup,
atau anak yang digondhol Gendruwo balik lagi.
Bahunya saja yang saya pegang dan agak saya remas,
tapi karena emosi saya bilang belum cukup maka saya guncang-guncang tubuhnya.
Hati saya meneriakkan “Jazakumullah, masyaallah, wa yushlihu balakum!”,
tetapi bibir saya pemalu untuk mengucapkannya.
Tuhan memberi ‘ijazah’ kepadanya dan selalu memelihara kebaikan urusan-urusannya.
Saya juga menjaga diri untuk tidak mendramatisir hal itu.
Tetapi pasti bahwa di dalam diri saya
tidak terdapat sesuatu yang saya kagumi
sebagaimana kekaguman yang saya temukan pada prinsip,
managemen dan disiplin hidup Pak Patul.
Untung dia tidak menyadari keunggulannya atas saya:
bahwa saya tidak mungkin siap mental
dan memiliki keberanian budaya maupun ekonomi
untuk hidup sebagai penjual bakso, sebagaimana ia menjalankannya dengan tenang dan ikhlas.
Saya lebih berpendidikan dibanding dia,
lebih luas pengalaman, pernah mencapai sesuatu yang ia tak pernah menyentuhnya,
bahkan mungkin bisa disebut kelas sosial saya lebih tinggi darinya.
Tetapi di sisi manapun dari realitas hidup saya,
tidak terdapat sikap dan kenyataan yang membuat saya tidak berbohong
jika mengucapkan kalimat seperti diucapkannya:
“Di antara pendapatan saya ini terdapat milik keluarga saya, milik orang lain dan milik Tuhan”.
Peradaban saya masih peradaban “milik saya”.
Peradaban Pak Patul sudah lebih maju, lebih rasional, lebih dewasa,
lebih bertanggungjawab, lebih mulia dan tidak pengecut sebagaimana ‘kapitalisme subyektif posesif’ saya.
30 th silam saya pernah menuliskan kekaguman saya kepada Penjual cendhol
yang marah-marah dan menolak cendholnya diborong oleh Pak Kiai Hamam Jakfar Pabelan
karena “kalau semua Bapak beli, bagaimana nanti orang lain yang memerlukannya?”
Ilmunya penjual jagung asal Madura di Malang tahun 1976 saya pakai sampai tua.
Saya butuh 40 batang jagung bakar untuk teman-teman seusai pentas teater,
tapi uang saya kurang, hanya cukup untuk bayar 25, sehingga harga perbatang saya tawar.
Dia bertahan dengan harganya, tapi tetap memberi saya 40 jagung.
“Lho, uang saya tidak cukup, Pak”
“Bawa saja jagungnya, asal harganya tetap” “Berarti saya hutang?”
“Ndaaak. Kekurangannya itu tabungan amal jariyah saya”.
Doooh adoooh…! Tompes ako tak’iye!
Di pasar Khan Khalili semacam Tenabang-nya Cairo
saya masuk sebuah took kemudian satu jam lebih pemiliknya hilang entah ke mana,
jadi saya jaga tokonya. Ketika datang saya protes: “Keeif Inta ya Akh…ke mane aje?
Kalau saya ambilin barang-barang Inta terus saya ngacir pigimane dong….”
Lelaki tua mancung itu senyum-senyum saja sambil nyeletuk:
“Kalau mau curi barang saya ya curi saja, bukan urusan saya, itu urusan Ente sama Tuhan….
” Sungguh manusia adalah ahsanu taqwim,
sebaik-baik ciptaan Allah, master-piece.
Orang-orang besar bertebaran di seluruh muka bumi.
Makhluk-makhluk agung menghampar di jalan-jalan, pasar,
gang-gang kampung, pelosok-pelosok dusun dan di mana-manapun.
Bakso Khlifatullah, bahasa Jawanya: bakso-nya Pak Patul, terasa lebih sedap karena kandungan keagungan.
Itu baru tukang bakso, belum anggota DPR.
Itu baru penjual cendhol, belum Menteri dan Dirjen Irjen Sekjen.
Itu baru pemilik toko kelontong, belum Gubernur Bupati Walikota tokoh-tokoh Parpol.
Itu baru penjual jagung bakar, belum Kiai dan Ulama. *****
-wallahu'alam bishowwab-
Powered by Telkomsel BlackBerry®
(*Lagi ga mood nulis tulisan sendiri , jadi copas saja deh artikel Emha Ainun Najib yang menurut saya bagus sekali. Tulisan Emha sangat mengena di hati saya apalagi ada hubungannya sama Bakso , mungkin juga diantara teman-teman sudah ada yang membaca tulisan Emha ini*)
sumber: http://skalaindonesia.com/node/2424
sumber foto: http://www.flickr.com/photos/dwiandi/3424548805/
Bakso Khalifatullah
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Setiap kali menerima uang dari orang yang membeli bakso darinya,
Pak Patul mendistribusikan uang itu ke tiga tempat: sebagian ke laci gerobagnya,
sebagian ke dompetnya, sisanya ke kaleng bekas tempat roti.
“Selalu begitu, Pak?”, saya bertanya,
sesudah beramai-ramai menikmati bakso beliau
bersama anak-anak yang bermain di halaman rumahku sejak siang.
“Maksud Bapak?”, ia ganti bertanya.
“Uangnya selalu disimpan di tiga tempat itu?”
Ia tertawa. “Ia Pak. Sudah 17 tahun begini.
Biar hanya sedikit duit saya, tapi kan bukan semua hak saya”
“Maksud Pak Patul?”, ganti saya yang bertanya.
“Dari pendapatan yang saya peroleh dari kerja saya
terdapat uang yang merupakan milik keluarga saya, milik orang lain dan milik Tuhan”.
Aduh gawat juga Pak Patul ini.
“Maksudnya?”, saya mengejar lagi.
“Uang yang masuk dompet itu hak anak-anak dan istri saya, karena menurut Tuhan itu kewajiban utama hidup saya.
Uang yang di laci itu untuk zakat, infaq, qurban dan yang sejenisnya.
Sedangkan yang di kaleng itu untuk nyicil biaya naik haji.
Insyaallah sekitar dua tahun lagi bisa mencukupi untuk membayar ONH.
Mudah-mudahan ongkos haji naiknya tidak terlalu, sehingga saya masih bisa menjangkaunya”.
Spontan saya menghampiri beliau.
Hampir saya peluk, tapi dalam budaya kami orang kecil jenis ekspressinya tak sampai tingkat peluk memeluk,
seterharu apapun, kecuali yang ekstrem misalnya famili yang disangka meninggal ternyata masih hidup,
atau anak yang digondhol Gendruwo balik lagi.
Bahunya saja yang saya pegang dan agak saya remas,
tapi karena emosi saya bilang belum cukup maka saya guncang-guncang tubuhnya.
Hati saya meneriakkan “Jazakumullah, masyaallah, wa yushlihu balakum!”,
tetapi bibir saya pemalu untuk mengucapkannya.
Tuhan memberi ‘ijazah’ kepadanya dan selalu memelihara kebaikan urusan-urusannya.
Saya juga menjaga diri untuk tidak mendramatisir hal itu.
Tetapi pasti bahwa di dalam diri saya
tidak terdapat sesuatu yang saya kagumi
sebagaimana kekaguman yang saya temukan pada prinsip,
managemen dan disiplin hidup Pak Patul.
Untung dia tidak menyadari keunggulannya atas saya:
bahwa saya tidak mungkin siap mental
dan memiliki keberanian budaya maupun ekonomi
untuk hidup sebagai penjual bakso, sebagaimana ia menjalankannya dengan tenang dan ikhlas.
Saya lebih berpendidikan dibanding dia,
lebih luas pengalaman, pernah mencapai sesuatu yang ia tak pernah menyentuhnya,
bahkan mungkin bisa disebut kelas sosial saya lebih tinggi darinya.
Tetapi di sisi manapun dari realitas hidup saya,
tidak terdapat sikap dan kenyataan yang membuat saya tidak berbohong
jika mengucapkan kalimat seperti diucapkannya:
“Di antara pendapatan saya ini terdapat milik keluarga saya, milik orang lain dan milik Tuhan”.
Peradaban saya masih peradaban “milik saya”.
Peradaban Pak Patul sudah lebih maju, lebih rasional, lebih dewasa,
lebih bertanggungjawab, lebih mulia dan tidak pengecut sebagaimana ‘kapitalisme subyektif posesif’ saya.
30 th silam saya pernah menuliskan kekaguman saya kepada Penjual cendhol
yang marah-marah dan menolak cendholnya diborong oleh Pak Kiai Hamam Jakfar Pabelan
karena “kalau semua Bapak beli, bagaimana nanti orang lain yang memerlukannya?”
Ilmunya penjual jagung asal Madura di Malang tahun 1976 saya pakai sampai tua.
Saya butuh 40 batang jagung bakar untuk teman-teman seusai pentas teater,
tapi uang saya kurang, hanya cukup untuk bayar 25, sehingga harga perbatang saya tawar.
Dia bertahan dengan harganya, tapi tetap memberi saya 40 jagung.
“Lho, uang saya tidak cukup, Pak”
“Bawa saja jagungnya, asal harganya tetap” “Berarti saya hutang?”
“Ndaaak. Kekurangannya itu tabungan amal jariyah saya”.
Doooh adoooh…! Tompes ako tak’iye!
Di pasar Khan Khalili semacam Tenabang-nya Cairo
saya masuk sebuah took kemudian satu jam lebih pemiliknya hilang entah ke mana,
jadi saya jaga tokonya. Ketika datang saya protes: “Keeif Inta ya Akh…ke mane aje?
Kalau saya ambilin barang-barang Inta terus saya ngacir pigimane dong….”
Lelaki tua mancung itu senyum-senyum saja sambil nyeletuk:
“Kalau mau curi barang saya ya curi saja, bukan urusan saya, itu urusan Ente sama Tuhan….
” Sungguh manusia adalah ahsanu taqwim,
sebaik-baik ciptaan Allah, master-piece.
Orang-orang besar bertebaran di seluruh muka bumi.
Makhluk-makhluk agung menghampar di jalan-jalan, pasar,
gang-gang kampung, pelosok-pelosok dusun dan di mana-manapun.
Bakso Khlifatullah, bahasa Jawanya: bakso-nya Pak Patul, terasa lebih sedap karena kandungan keagungan.
Itu baru tukang bakso, belum anggota DPR.
Itu baru penjual cendhol, belum Menteri dan Dirjen Irjen Sekjen.
Itu baru pemilik toko kelontong, belum Gubernur Bupati Walikota tokoh-tokoh Parpol.
Itu baru penjual jagung bakar, belum Kiai dan Ulama. *****
-wallahu'alam bishowwab-
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Selasa, 12 Oktober 2010
Kisah Tempayan Retak
Bismillahirrahmanirrahim
Cerita bijak dr negeri di atas angin , sebagai bahan renungan :
Sumber: chat BBM Management Ladies FEUI
Seorang ibu di Cina yang sdh tua memiliki 2 buah tempayan yg digunakan utk mencari air, tempayan yg dipikul di pundak dgn menggunakan sebatang bambu. Salah satu dr tempayan itu retak, sedangkan yg satunya tanpa cela dan selalu memuat air hingga penuh.
Setibanya di rumah setelah menempuh perjalanan panjang dr sungai, air di tempayan yg retak tinggal separuh. Selama 2 tahun hal ini berlangsung setiap hari, dimana ibu itu membawa pulang air hanya satu setengah tempayan.
Tentunya si tempayan yg utuh sangat bangga akan pencapaiannya. Namun tempayan yg retak merasa malu akan kekurangannya dan sedih sebab hanya bisa memenuhi setengah dari kewajibannya.
Setelah 2 tahun yg dianggapnya sebagai kegagalan, akhirnya tempayan retak berbicara kepada ibu tua itu di dekat sungai. "Aku malu, sebab air bocor melalui bagian tubuhku yg retak di sepanjang jalan menuju ke rumahmu."
Ibu itu tersenyum, "Tidakkah kau lihat bunga beraneka warna di jalur yg kau lalui, namun tidak ada di jalur yg satunya? Aku sudah tahu kekuranganmu, jadi aku menabur benih bunga di jalurmu & setiap hari dlm perjalanan pulang kau menyirami benih-benih itu. Selama 2 tahun aku bs memetik bunga-bunga cantik untuk menghias meja. Kalau kau tidak seperti itu, maka rumah ini tdk seasri seperti ini sebab tdk ada bunga."
Kita semua mempunyai kekurangan masing-masing.
Namun keretakan & kekurangan itulah yg menjadikan hidup kita bersama menjadi menyenangkan & memuaskan.
Kita harus menerima setiap orang apa adanya & mencari yg terbaik dalam diri mereka, termasuk teman dan pasangan kita.
Rekan-rekan sesama tempayan yg retak, semoga hari kalian menyenangkan. Jangan lupa mencium wanginya bunga-bunga di jalur kalian.
-wallahu'alam bishshowwab-
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Cerita bijak dr negeri di atas angin , sebagai bahan renungan :
Sumber: chat BBM Management Ladies FEUI
Seorang ibu di Cina yang sdh tua memiliki 2 buah tempayan yg digunakan utk mencari air, tempayan yg dipikul di pundak dgn menggunakan sebatang bambu. Salah satu dr tempayan itu retak, sedangkan yg satunya tanpa cela dan selalu memuat air hingga penuh.
Setibanya di rumah setelah menempuh perjalanan panjang dr sungai, air di tempayan yg retak tinggal separuh. Selama 2 tahun hal ini berlangsung setiap hari, dimana ibu itu membawa pulang air hanya satu setengah tempayan.
Tentunya si tempayan yg utuh sangat bangga akan pencapaiannya. Namun tempayan yg retak merasa malu akan kekurangannya dan sedih sebab hanya bisa memenuhi setengah dari kewajibannya.
Setelah 2 tahun yg dianggapnya sebagai kegagalan, akhirnya tempayan retak berbicara kepada ibu tua itu di dekat sungai. "Aku malu, sebab air bocor melalui bagian tubuhku yg retak di sepanjang jalan menuju ke rumahmu."
Ibu itu tersenyum, "Tidakkah kau lihat bunga beraneka warna di jalur yg kau lalui, namun tidak ada di jalur yg satunya? Aku sudah tahu kekuranganmu, jadi aku menabur benih bunga di jalurmu & setiap hari dlm perjalanan pulang kau menyirami benih-benih itu. Selama 2 tahun aku bs memetik bunga-bunga cantik untuk menghias meja. Kalau kau tidak seperti itu, maka rumah ini tdk seasri seperti ini sebab tdk ada bunga."
Kita semua mempunyai kekurangan masing-masing.
Namun keretakan & kekurangan itulah yg menjadikan hidup kita bersama menjadi menyenangkan & memuaskan.
Kita harus menerima setiap orang apa adanya & mencari yg terbaik dalam diri mereka, termasuk teman dan pasangan kita.
Rekan-rekan sesama tempayan yg retak, semoga hari kalian menyenangkan. Jangan lupa mencium wanginya bunga-bunga di jalur kalian.
-wallahu'alam bishshowwab-
Powered by Telkomsel BlackBerry®
Langganan:
Postingan (Atom)